Senin, 01 Desember 2014

Sejarah Tentara Genie Pelajar

Sejarah Tentara Genie Pelajar

 Lambang Tentara Genie Pelajar

Karena perlunya tentara untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri maka di Surabaya terbentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat), PRI (Pemuda Republik Indonesia), AMI (Angkatan Muda Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan lain sebagainya. Pada 1 Oktober 1945, 20 orang siswa STN/SMTT mengikuti para guru mereka, di antaranya Hasanudin dan Kaswadi, masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Tehnik. Selama masa perebutan kekuasaan, pasukan pelajar (BKR Pelajar) aktif menyertai perebutan senjata, antara lain penyerbuan terhadap tangsi Don Bosco dan tempat lain yang memungkinkan pasukan menambah jumlah persenjataannya. Akhirnya mereka bermarkas di bekas Tentara Jepang Don Bosco Jalan Tidar Surabaya.



 Gedung Don Bosco di Jalan Tidar Surabaya 
yang pernah menjadi gudang senjata tentara Jepang

Pada tanggal 2 Oktober 1945, setelah Jepang menyerah, lalu senjata-senjata yang berlimpah oleh karena ada satu brigade Angkatan Darat Jepang dan satu armada Angkatan Laut Jepang yang meng “hibah” kan persenjataan tempurnya maka senjata-senjata ini seperti dibagikan gratis kepada banyak pemuda dan rakyat Surabaya. Termasuk disini pemuda-pemuda pelajar mulai dari SMP, SMT (Sekolah Menengah Tehnik), ST dan SMTT.
Selanjutnya para pelajar SMP, ST, SMT, SMTT di Surabaya akhirnya membentuk pasukan pelajar yang mereka sebut Staf atau kelompok. Pada masa itu di Surabaya ada 4 kelompok kesatuan pelajar antara lain
1. Staf I kelompok pelajar SMT Darmo yang dipimpin Isman,
2. Staf II kelompok pelajar SMTT dan ST pimpinan Sunarto,
3. Staf III kelompok SMP Praban dan SMP Ketabang, dan
4. Staf IV kelompok pelajar lainnya yang bermarkas di Heren Straat.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 kelompok-kelompok pelajar tersebut oleh Sungkono dimasukkan dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat) dengan nama BKR Pelajar. Mereka sempat turut berjuang di pertempuran Surabaya pada tanggal 28 oktober dan 10 Nopember 1945.
Pada saat pertempuran di Surabaya ini Staff II yang unsurnya terdiri dari pelajar-pelajar Sekolah Teknik dibawah pimpinan Sunarto. Pada tanggal 17 November 1945 Staff II/Genie Pelajar ini di bawah perintahkan pada bagian Teknik Kementrian Keamanan di Surabaya yang dikepalai oleh Kolonel Suharnowo. Dalam menghadapi Sekutu (Inggris) di Surabaya pasukan Genie Pelajar mendaat tugas untuk :
1. Mengamankan pemancar radio yang ada di kantor Kementrian Keamanan.
2. Menyingkirkan mesiu dari gudang-gudang mesiu, antara lain dari Don Bosco, untuk dimanfaatkan dalam perjuangan.
3. Membuat design ranjau-ranjau yang digunakan untuk merugikan pihak musuh.
4. Merusak jembatan-jembatan dan alat komunikasi lainnya.
Sewaktu bertempur selama di Surabaya para pejuang yang tergabung dalam TGP antara lain Hartawan, Sucihno, dan Suwandi berhasil menghancurkan beberapa kendaraan tempur pihak Sekutu (Inggris).
Untuk mengurangi jumlah korban lagi, maka Pasukan Republik Indonesia ditarik mundur menuju Gunungsari, Sepanjang, Karangpilang. Di Karangpilang inilah Bapak Hasanudin (Komandan TKR tehnik) terkena ledakan pasangannya sendiri. Beberapa hari kemudian pasukan ditarik mundur lagi ke Pabrik Gula Krian, Mojokerto, Jombang terus menetap di Pabrik Gula Cukir Jombang.
Selain di Surabaya, Genie Pelajar ini tumbuh dan berkembang diberbagai kota seperti di Yogyakarta, Magelang, Solo, Pati, dan Madiun. Pertumbuhannya selalu dipelopori oleh pelajar-pelajar Sekolah Teknik aau pertukangan. Di beberapa kota mereka mendapat bimbingan para mahasiswa yang tergabung dalam Corps Mahasiswa (C.M). Dan satuan-satuan TGP dibeberapa kota lainnya ada juga yang tergabung dengan satuan TNI.
Pada tahun 1946 TGP yang ada di kota Magelang yang dipimpin oleh Sukirno bergabung dengan TGP Yogyakarta yang dipimpin oleh Sunjasworo. TGP Magelang dan Muntilan berhasil membuat senjata stengun sebanyak 6 – 7 pucuk setiap bulannya. Atas pimpinan Sadli (bekas Menteri pertambangan), di Magelang didirikan satu laboratorium bahan peledak. Dari bahan-bahan peledak tersebut, kemudian dibuat granat-granat, granat gombyok, bom molotov, dan peledak gedung. Prestasi mereka ini berkat pelajaran yang diberikan oleh para mahasiswa dibawah pimpinan Sadli yang tergabung dalam Corps Mahasiswa.
Proses pembuatan granat gombyok ini berbahan bom yang dijatuhkan dari pesawat cocor merah yang tidak meledak, oleh para pemuda diambil. Kemudian digergaji untuk diambil mesiunya. 
Serbuk mesiu dimasukan ke dalam besi yang beberbentuk seperti cawan. Dalam cawan sudah ada campuran patahan besi dan paku. Setelah itu cawan ditutup menggunakan besi (bukan baja) yang dibagian belakanganya sudah ada ekor yang terbuat dari kain (gombyoknya).
Dalam penggunaannya lemparan granat gombyok rata-rata mencapai 15-20 meter  

Namun demikian granat gombyok ini sering menelan korban penggunanya oleh karena  beberapa faktor :
1. Kesalahan dalam memasukan penekan dari atas ke dalam benda yang seperti cawan.
2. Cara melempar yang tidak memegang gombyoknya.
3. Seharusnya jatuhnya lemparan ke depan tapi mebalik ke belakang karena faktor ketakutan.

Pada 14 Oktober 1946, dalam suasana gencatan senjata dan status quo, dirintis upaya perundingan RI-Belanda yang menghasilkan perjanjian Linggarjati. Selama itu diberlakukan suatu keadaan gencatan senjata dari kedua belah pihak. Dengan tidak adanya lagi tugas-tugas operasional pembelaan negara, maka para pelajar pejuang bersenjata menarik diri dari medan pertempuran untuk belajar kembali menekuni pendidikan di sekolah. Disusul kemudian ada pengumuman dari sekolah bahwa STN/SMTT akan dibuka kembali di Lawang, Malang, Blitar dan Kediri.
Khususnya bagi murid kelas III STN/SMTT akan dibuka di Lawang dan diasramakan di Jalan Sumberwaras Lawang. Di Lawang kurang lebih 5 bulan ada kenaikan kelas, kemudian sekolah dipindah lagi ke Kota Malang yang untuk sementara waktu masih menumpang di gedung Katholik Corjesu (sekarang berada di depan Rumah Sakit Umum Celaket Malang).
Tidak berapa lama, sekolah dipindah lagi ke SMP Kristen di Jalan Semeru No. 42 Malang. Di sinilah tempat kelahiran kesatuan Tentara Genie Pelajar (TGP) di bawah pimpinan Soenarto terbentuk, tepatnya pada tanggal 2 Februari 1947. Semboyan TGP saat itu Berjuang Sambil Belajar. Ide mendirikan TGP oleh sekelompok pelajar pejuang SMTT sebenarnya sudah ada sejak di asrama Sumberwaras Lawang sampai di mess Jalan Ringgit Malang. Peristiwa ini sekaligus juga dimanfaatkan untuk pendaftaran bagi yang berminat menjadi anggota pasukan pelajar pejuang yang baru, Tentara Genie pelajar. Pembentukan satuan baru ini diawali dengan acara pendidikan dan latihan, baik dalam dasar-dasar militer sekaligus juga spesialisasi tugas genie. Pelatihan itu diselenggarakan selama dua minggu di Kesatrian, Rampal, Kota Malang. Bersamaan dengan itu juga dilakukan aksi anjuran untuk membentuk satuan TGP dan bergabung dengan TGP Malang. Sedangkan latihan dasar kemiliteran dilatih oleh para pelatih dari Sekolah Kadet Angkatan Laut Malang. Batalyon TGP Brigade 17 TNI yang di bawah pimpinan Kapten Hartawan dan berpusat di madiun ini terbagi menjadi 4 Kompi yaitu
1. Kompi I berada di Malang, Blitar dan Pare (Kediri),
2. Kompi II berada di Madiun, Bojonegoro dan Pati,
3. Kompi III berada di Solo, dan
4. Kompi IV berada di Yogyakarta.
Perjalanan sejarah TGP Kompi I yang di Malang selama Perang Kemerdekaan
Belum genap enam bulan usia TGP sudah menghadapi ujian pertama yang berat, yaitu pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan operasinya yang lebih dikenal dengan Perang Kemerdekaan I. Pada pukul 16.00 terdengar siaran dari unit-unit penerangan melalui pengeras suara dengan kata-kata Ibu Pertiwi dalam bahaya , yang merupakan kata-kata sandi bahwa mulai mengadakan serangan. Malam hari pukul 19.00 semua perwira staf dan komandan kesatuan Divisi VII berkumpul di Markas Divisi, termasuk Komandan TGP. Pada apel tersebut dikeluarkan perintah harian Panglima, bahwa pasukan baru meninggalkan kota Malang setelah kota tersebut menjadi lautan api.
Dengan bekal instruksi atau perintah tersebut, maka malam itu juga di Markas TGP Jalan Ringgit 5 diadakan rapat staf dan komandan seksi, untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil :
1. Mengirimkan beberapa regu untuk mengadakan aksi-aksi penghambatan sepanjang jalan Pandaan Lawang
2. Beberapa regu ditugaskan untuk bumi hangus kota Malang, termasuk lapangan terbang Bugis.
3. Persiapan pemindahan Markas TGP ke sebelah barat Kali Kepanjen.
4. Sisanya tetap berada di Pos Komando yang pemindahannya disesuaikan dengan situasi pertempuran.
Selagi anggota staf masih berkumpul di Markas Jalan Ringgit, pada tanggal 22 Juli jam 03.00 terdengar ledakan yang hebat disertai jatuhnya serpihan-serpihan plafon. Dengan perasaan mendongkol, karena peledakan tersebut dianggap belum waktunya dan bertentangan dengan perintah Panglima, maka Komandan TGP disertai beberapa orang meninggalkan markas menemui Panglima Divisi untuk memprotes kejadian tersebut, sambil meminta instruksi lebih lanjut dan melaporkan hasil rapat yang baru lalu.
Siang harinya, setelah terlihat gejala dikosongkannya kota Malang, maka diambil inisiatif untuk mengambil alih tanggunggjawab bumi hangus kota Malang. Tindakan pertama yang dilakukan adalah meminta pada Kepala-kepala Kantor seperti, kantor Tilpon, RRI, Perusahaan listrik dan
Station Malang. Kepada mereka diminta kesediaannya menerima pengawasan dan penghancuran mereka dan mulai mengungsikan alat penting mereka ke Ngebruk dan Sumberpucung. Pada kesempatan itu TGP juga meminta agar kendaraan, peralatan tilpon dan kabel listrik mereka
diserahkan pada TGP. Ada 1 bus, 1 sedan, 1 truk, 1 pick up yang diperoleh TGP dan kemudian berhasil diselamatkan ke luar kota sewaktu tentara Belanda masuk kota Malang.
Gambar . Penghancuran Jembatan. Pada tanggal 23 Juli Markas TGP dipindahkan ke Sumberpucung.
Sedangkan Pos Komando dibagi, Posko depan tetap berada di jalan Ringgit dan Posko Utama di Bululawang. Posko depan bertugas sebagai tempat kumpul bagi anggota TGP yang masih berada didepan dan tempat koordinasi penghancuran kota Malang. Posko Utama bertugas sebagai tempat koordinasi aksi-aksi penghambatan jalan Malang Kepanjen. Setelah mendapat berita, bahwa Belanda akan melanjutkan operasinya dari Lumajang ke Malang Selatan, maka dikirimkan 1 regu untuk menghancurkan jembatan Gambirsari (Pasirian). Jembatan tersebut berhasil diputuskan.
Pada tanggal 26 Juli jam 04.00 pagi terdengar berita, bahwa jembatan jembatan sebelah timur Kepanjen akan diledakan oleh Detasemen Genie Divisi VII. Karena sebagian besar pasukan masih banyak yang berada di sebelah Timur Kali Kepanjen lengkap dengan senjata beratnya, maka diputuskan untuk mengambil alih pengawasan dan penjagaan jembatan Malang-Kepanjen dan Dampit-Kepanjen. Dan pada hari-hari berikutnya diledakan juga studio RRI, setasion Kereta api Malang, Penghancuran landasan pangkalan udara Bugis, Gedung KNI, Kantor Karesidenan dan hotel Palaco. Kota Malang jatuh pada tanggal 31 Juli 1947.
Setelah Posko Utama TGP pindah ke Bululawang pada tanggal 24 Juli 1947 maka mulai dipersiapkan penghancuran Pabrik Percetakan Uang Negara Kendalpayak dan pabrik Gula Krebet. Setelah selesai mengungsikan mesin mesin cetak dan uang kertas sebanyak 5 gerbong Kereta Api, maka pabrik tersebut diledakkan, pada hari yang sama jembatan Kereta api yang melintasi Kali Brantas di Kendalpayak juga diledakkan sampai putus. Satu kilometer di selatan jembatan tersebut ada lagi jembatan kereta-api Sempal wadak juga diledakkan oleh TGP.
Selama di Bululawang, markas TGP menempati sebuah gedung Sekolah Dasar. Di sini pelajar Saleh mendapat cedera, tangan kirinya putus kena ledakan detonator. Pada masa persetujuan Renvile Bululawang menjadi daerah demarkasi. Pada tanggal 1 Agustus setelah mendengar bahwa Belanda menuju kearah Bululawang dengan pasukan Kavaleri, maka kekuatan utama TGP bergerak menuju Sumberpucung, kecuali kelompok komando yang masih akan menghancurkan penimbunan amunisi di Wajak dan jembatan Srigonggeng. Sambil mengundurkan diri pasukan utama menghancurkan pabrik Gula Krebet, sedangkan jembatan Srigonggeng baru dipasang dan diledakan pada malam hari, karena pasukan kavaleri Belanda menurut informasi para pengungsi (rakyat) berada tidak jauh dari jembatan tersebut di seberang sungai. Jembatan berhasil diledakan dengan 4 buah ranjau laut. Semua kekuatan TGP tiba dengan selamat di Sumberpucung tanggal 2 Agustus.
Pada September 1947, dari Sumberpucung TNI melakukan gerakan Wingate (menyusup jauh ke wilayah musuh) kedaerah pendudukan Belanda di ujung Jawa Timur. Ada 3 regu Khusus TGP yang ditugaskan ikut serta dalam gerakan Wingate itu sebagai kesatuan pioner Regu Lutfi
bersama Batalyon Syarif menuju Probolinggo, Regu Sisworo bersama Batalyon Sukertio menuju Lumajang sedang Kasbi bersama Batalyon Magenda menyusup ke daerah Jember. Di luar itu masih ada lagi satu regu khusus TGP pimpinan Chenot Santoso menyusup ke daerah Malang Selatan.
Gerakan Wingate ini merupakan perjalanan yang berat, karena perjalanan dilakukan tidak melalui jalan raya, untuk menghindari perjumpaan dengan patroli pasukan Belanda, melainkan melalui jalan kampung, jalan setapak dan kadang-kadang bahkan menerobos hutan. Kelompok yang menuju Probolinggo ada yang menerobos melalui Gunung Bromo dan ada pula yang melewati lereng selatan G. Semeru. Mereka berbasis di Patayan di Selatan Probolinggo. Bersama Batalyon Abdul Syarief mereka melalukan serangan umum . Serangan itu dilakukan tepat menjelang ditandatanganinya Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948. dalam serangan ini regu TGP mendapat tugas menghancurkan jembatan di desa Pasir, + 3 km dari Probolinggo, yaitu jembatan jalan raya Probolinggo Pasuruan dan jembatan kereta api di dekatnya. Putusnya jembatan tersebut membawa akibat Jeep tentara Belanda bersama penumpangnya yang berjalan cepat terperosok masuk sungai. Disamping merusak jembatan tersebut mereka juga berhasil merusak jembatan kereta api di selatan Leces sehingga hubungan kereta api Surabaya Jember untuk beberapa hari putus. Kelompok yang ke Lumajang melakukan Sabotase terhadap pembangkit tenaga listrik di daerah itu. Selesai dengan tugas Wingate tersebut kemudian mereka kembali lagi ke Sumberpucung. Dengan tercapainya persetujuan Renville kemudian terjadi genjatan senjata. Pada masa gencatan senjata ini, TGP kemudian memanfaatkan waktu luang itu untuk melakukan konsolidasi dengan pengembangan organisasi.
Tugas utama sesudah terkonsolidasi adalah mempersiapkan usaha perlawanan terhadap serangan musuh di daerah poros gerakan Kepanjen, Wlingi, Lodoyo Blitar dengan penghancuran jembatan-jembatan dalam poros jalan tersebut dan berakhir dengan melaksanakan bumi hangus total kota Blitar. Yang kedua mempersiapkan bakal calon daerah yang dapat dikembangkan sebagai basis sekaligus kantong RI bagi kompi I di daerah kota Blitar apabila harus meninggalkan kota Blitar. Daerah Operasi gerilya kompi I, tidak terbatas di daerah sekitar Blitar dan Pare saja, melainkan juga sampai ke daerah Malang selatan. Salah satu kelompok kecil TGP yang bertugas di daerah Malang Selatan adalah kelompok Sunardi, terdiri dari empat orang anggota dari Peleton I. Mereka adalah Suwiadi, Sunarto, Kusbagyo dan Sunardi. Di desa Bodo, Ngebruk bersama pasukan TRIP pada tanggal 9 April 1949 mereka melakukan penghadangan terhadap konvoi Belanda. Ranjau darat yang mereka pasang berhasil merusak sebuah panser dan sebuah truck Belanda. Esoknya di desa Kebonsari, Ngebruk, bersama pasukan TRIP mereka terlibat pertempuran dengan satu kompi pasukan Belanda. Serangan Belanda yang gencar dengan Brengun, stengun dan Tekidanto, menyebabkan kedua pasukan pelajar yang bertahan dibalik jalan kereta api jadi kewalahan. Dalam pertempuran ini, lima orang pemuda TRIP gugur.
Setelah peristiwa tersebut kelompok TGP pindah ke Desa Duren Klayatan, bermalam dirumah seorang penduduk. Pada tanggal 16 April 1949, tengah malam sekitar jam 22.30, tempat mereka menginap tiba-tiba disergap oleh tentara Belanda. Pasukan Belanda yang tiba-tiba saja telah berdiri dimuka pintu, langsung melepaskan tembakan terhadap Suwiadi dan Sunarto yang sedang beristirahat di bale-bale. Suwiadi seketika gugur, sedang Sunarto dan Sumardi menderita luka-luka tertawan dan terus dibawa ke Malang. Kusbagyo tidak hadir dalam peristiwa tersebut, karena siang harinya sedang dapat tugas ke Malang untuk mencari peluru. 
Dalam patung yang berada di pertigaan Jalan Tangkuban Perahu dan Jalan Semeru yang bersebelahan dengan Stadion Gajayana Malang ini adalah penghargaan kepada pahlawan pelajar Tentara Genie Pelajar (TGP) diabadikan.


Monumen Tentara Genie Pelajar (TGP) di Malang

Perjalanan sejarah TGP Kompi II di Madiun selama Perang Kemerdekaan
Pada waktu menghadapi pemberontakan Madiun disiapkan 1 kompi TGP (Kompi II) di bawah pimpinan Sumantri dengan tugas menjinakkan bom-bom yang dipasang oleh pemberontak PKI yang berusaha meledakkan gedung-gedung dan obyek-obyek penting di Madiun. Caranya ialah dengan memasukkan semen ke dalam detonatornya supaya tidak dapat meledak. Tugas ini dapat dilaksanakan dengan baik, kecualibom yang dipasang di kantor telepon yang gagal karena terlambat.
Selama masa gerilya TGP di Jawa Timur berhasil mendirikan rumah sakit bedah darurat untuk merawat pejuang pelajar yang terluka. Rumah sakit darurat ini didirikan di Kulon Bendang di kawasan perkebunan kina dan dananya diambil dari hasil rampasan Belanda dan uang perkebunan. Dan dokter-dokternya diambil dari kota. Dengan adanya rumah sakit bedah darurat ini maka banyak pejuang pelajar yang terluka nyawanya bisa diselamatkan.
Perjalanan sejarah TGP Kompi III di Solo selama Perang Kemerdekaan.
Tentara Genie Pelajar ini di bawah berkekuatan 1 kompi serta dipimpinan oleh Djoko Rahardjo dan kemudian berpindah ke Gadjah Suranto. Namun setelah gugurnya Gadjah Suranto gugur pada tanggal 27 Maret 1949 maka pimpinan TGP dikembalikan di bawah pimpinan Djoko Rahardjo. 
Pasukan ini terbagi menjadi 2 seksi yaitu :
1. Seksi Pioner atau VC (Verniellings Corps) yang dipimpin oleh Trisno Babi dengan tugas bumi hangus / penghancuran selain fungsi tempur. Asramanya di Gendengan (ST).
2. Seksi Fabricage yang dipimpin Suradio Gendut, Mulyo dll. Tugasnya perbengkelan, perbaikan atau service senjata, dan pembuatan amunisi serta merencanakan dan menciptakan senjata.
 

Sedangkan staf administrasi dan perlengkapan/perbekalan bertugas mencari bahan baku untuk amunisi dan suku cadang senjata. 
Unit-unit aktifitas TGP dibantu dan kerja sama dengan Batalyon Genie serta mendapat bimbingan oleh tokoh-tokohnya yaitu Mayor Suhardi, Mayor Parmujo, dan Mayor Wagiman tempat latihannya markas Genie dan P. H. B yang terletak di bekas sekolah Van Deventer  School - Timuran.  
Kompi III TGP yang berada di Solo tergabung di bawah Brigade 17 Fabricage A Batalyon 100 menempati markas berupa gedung yang merupakan pabrik senjata perang di Solo. Suatu prestasi atau hasil kreasi yang pantas dibanggakan dari para taruna TGP Solo yang berusia belasan tahun ini adalah berhasil menciptakan sebuah jenis senjata ringan automatis yang diberi nama Pren Gun atau sering pula disebut "Sprang Gun" alias Supranggoro Gun karena nama pembuatnya bernama Supranggoro. Pabrik pembuatan senjata automatis Pren Gun ini berada di Ngrejo, Tirtomoyo Wonogiri (di luar kota Solo). 

 Penampakan Pren Gun karya Supranggoro dari TGP Fabricage A Kompi III Detasemen II
 
TNI Brigade XVII TP Satuan Polisi Militer, dg Senjata "Sten Gun" Made In Satuan TGP Fabricage A Kompi III Detasemen II nampak Supranggoro dalam foto paling kiri.

Pada tanggal 4 Agustus 1949 di daerah Purworejan, Kabupaten Karangayar. Saat itu, TGP di bawah pimpinan Soetojo Darmosarkoro bersama selusin pasukan TGP dan dibantu oleh pamong dan warga desa berhasil merebut pos milik tentara Belanda. Dalam peristiwa ini berhasil ditembak mati tiga tentara Belanda yang jadi pimpinan dan menawan 27 tentara Belanda yang memilih menyerah. Selain itu juga berhasil merampas dua sten gun dan dua bren gun dan dua unit pemancar radio dan ratusan peluru, yang termasuk modern pada masanya. Untuk mengenang aksi heroik itu, dibangun monumen TGP. Di monumen yang dibangun eks Tentara Pelajar tahun 1996 tersebut tertulis kata-kata: “Di sini sepasukan tentara Belanda tanggal 4 Agustus 1949 menyerah kepada TGP Fabricage A BE XVII. Operasi dipimpin Soetojo Darmosarkoro dibantu pamong dan pager desa”.
Perjalanan sejarah TGP Kompi IV di Yogyakarta selama Perang Kemerdekaan
Pada saat Agresi Belanda ke II tahun 1948-1949 Tentara Genie Pelajar (TGP) Brigade 17 TNI kompi IV yang ada di Yogyakarta bermarkas di dusun Klaci II Margodadi Seyegan. 

Monumen Tentara Genie Pelajar (TGP) di Klaci II Margodadi Seyegan.

Selanjutnya pada saat perlawanan bulan Juni 1949 Dua kompi pasukan Batalyon 151 Brigade X Divisi III Diponegoro, bersama satu regu Tentara Genie Pelajar (TGP) Brigade 17 TNI kompi IV dan dibantu oleh rakyat setempat melakukan serangan terhadap konvoi tentara Belanda di jalan raya Prambanan, Piyungan, Wonosari sebelah dusun Serut. Dalam persiapannya pasukan kita telah dapat memperoleh dua bom lengkap dengan detonator listrik masing-masing seberat 250 kg, dari gudang senjata peninggalan Belanda tahun 1942. Gudang senjata ini adalah sebuah gua yang berlokasi di bukit Pengklik, Berbah. Bom-bom tersebut oleh para pejuang bersama rakyat diangkut dan ditanam di jalan raya tersebut di atas. Pasukan pejuang diberangkatkan dari dusun Berbah setelah matahari terbenam dan sampai di lokasi sekitar pukul 8 pagi. Setiba di tempat pasukan langsung mengadakan persiapan berupa penanaman bom-bom (ditanam dengan jarak ± 50 m dari jalan raya dan menentukan tempat-tempat pertahanan (steling). Dengan dilengkapi dua bom tersebut di atas dengan detonator listrik memungkinkan komandan pasukan memilih/menentukan waktu yang tepat untuk meledakkan bom. Menjelang pukul 08.00 pagi terdengar gemuruhnya suara konvoi yang datang dari arah Prambanan menuju ke selatan arah Piyungan – Wonosari. Konvoi dibiarkan mendekat dan pada saat sebagian besar kendaraan konvoi yang terdiri dari kendaraan lapis baja, brencarrier, truk dan jeep berada di antara atau dekat dua bom tersebut maka kedua bom diledakkan secara simultan. Sangat beruntung bagi pasukan dan rakyat Indonesia waktu itu, bahwa tentara Belanda tidak menaruh curiga atas adanya bom-bom tersebut. Oleh sebab itu, tentara Belanda pada serangan Serut ini menderita kerugian yang sangat besar, baik kerugian jiwa maupun kerugian material. Sebagai akibat dari ledakan-ledakan bom terlihat banyak anggota badan dan tengkorak tentara Belanda berserakan di sawah dan ladang sekitar kejadian, demikian juga potongan-potongan/kepingan-kepingan kendaraan lapis baja, truk dan jeep. Tentara Belanda yang selamat langsung mengkonsolidasi diri dan terjadi tembak-menembak antara kedua pihak. Selama berlangsungnya tembak-menembak sebagian tentara Belanda tampak mengupayakan penyelamatan jenazah-jenazah dan yang luka-luka dari pihak mereka. Setelah itu sisa-sisa konvoi tentara Belanda berbalik arah dan kembali ke pangkalannya di pabrik gula Tanjung Tirto dan lapangan terbang Maguwo (sekarang Bandar Udara Internasional Adisucipto). Pada peristiwa itu dari pihak rakyat Serut, Regu TGP maupun Batalyon 151 tidak ada korban apapun.
Sesungguhnya banyak catatan aksi-aksi penghadangan yang dilakukan TGP, baik dalam peristiwa tersebut ada yang memakan korban jiwa maupun tidak. Tindakan pembelaan negara yang dilakukan oleh kalangan anak muda seperti, para pelajar pejuang bersenjata yang rata-rata usianya belum mencapai 20 tahun berkembang pula rasa berkompetisi atau bersaing untuk berbuat lebih baik dari yang dilakukan oleh kelompok lain. Sikap berkompetisi ini seringmenimbulkan kesulitan pengendalian pada mereka yang dibebani tanggung jawab kepemimpinan regu dan peleton. Tetapi sesungguhnya itulah suasana pasukan Pelajar Pejuang yang kadang juga menggambarkan ciri khas anak muda yang pemberani dan sedikit nekad. Terlebih dalam kegiatan aksi penghadangan, selain ada resiko maut bila terjadi kecelakaan, tetapi juga ada keisengan yang bermuatan kegembiraan melepaskan diri sesaat dari kondisi ketertekanan batin dan keletihan kecamuk peperangan. Seperti diketahui patroli depan iringiringan Tentara Belanda, lazimnya kelompo Kavaleri berkendaraan panser atau bren, cukup sering menemukan pasangan bom tarik yang kawat penariknya diikatkan pada rintangan pohon sehingga bila ada upaya untuk menyingkirkan rintangan pohon tersebut maka bom akan meledak, oleh karena itu mereka harus berhati-hati. Untuk sedikit memberi nuansa humor dibuatlah oleh kelompok penghadangan suatu jebakan semacam itu tetapi suatu pasangan tipuan yaitu tanpa pasangan bom tarik, dan sebagai gantinya sibuat seonggok kotoran manusia ditutup dedaunan secara rapi. Ini sudah dapat dipastikan akan menimbulkan amarah dan kejengkelan pada serdadu Belanda, yang dengan sendirinya juga harus menyingkirkan rintangan yang beraroma aduhai itu. Apa yang ditunggu anak muda TNI, pelajar pejuang yang sedang iseng mencari kegembiraan sesaat, ialah menyaksikan dari tempat persembunyiannya yang cukup jauh, peluapan amarah Belanda yang biasanya lalu menembak menghamburkan peluru kesembarang tempat sambil mencaci maki mereka juga menantang untuk berani berhadapan secara ksatria, jangan dengan cara-cara curang mengganggu tugas kami .. cara serupa juga sering dilakukan yaitu membuat onggokan kotoran sapi atau kerbau ditempat yang menarik kewaspadaan patroli musuh, sedangkan sesungguhnya onggokan itu kosong belaka, hanya suatu tipuan yang menjengkelkan serdadu Belanda. Selain itu gangguan ini juga berakibat melambankan gerak ofensif Tentara Belanda. Demikian anak-anak muda pelajar pejuang bersenjata merespons resiko tugas menghadapi maut dan serba kehidupan yang sulit sebagai pasukan gerilya, dengan lebih sering dicairkan dengan kegiatan yang lucu, tentu dalam ukuran para pelajar pejuang yang rata rata masih usia belia.

 Lambang Tentara Genie Pelajar yang lama
 Lambang Tentara genie Pelajar yang baru

Sumber: 
Catatan Kisah Perjoangan Taruna Patria Sala Merdeka atau Mati Bagian I, Karangan S. Diasmadi DSG. Diterbitkan Yayasan Al-Qalam, Jakarta. 1983, halaman 85-88.
Moehkardi, 1983, "Pelajar Pejuang TGP 1945 - 1950", Yayasan Ex batalyon TGP Brigade XVII, Surabaya.
Sigit Sugito, Drs., Suharsana, 1978, "Peranan Pelajar dan Mahasiswa dalam Perang Kemerdeaan Sebuah Ichtisar", Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, hal :17 - 18.
Tim Guru SMPN 2 Sumberpucung Malang, “Sejarah Singkat Kesatuan Pelajar Pejuang Kemerdekaan - Bag. I. Tentara Genie Pelajar (TGP)”

1 komentar: